Berolahraga
Secara Teratur Menjaga Kebugaran Tubuh
Olahraga, tak ubahnya seperti pakaian. “Olahraga sifatnya
tailor-made, disesuaikan per orang dan tujuannya. Apakah tujuannya berolahraga
sebagai karier seperti atlet atau sekadar menjaga kebugaran. Untuk mengetahui
apakah olahraga yang sudah dilakukan cocok dengan orang tertentu. Ketahui
denyut nadi normal setiap pagi ketika bangun tidur. “Denyut nadi normal adalah
60 kali per menit. Jika setelah melakukan olahraga, Anda menemukan jumlah
denyut pagi hari bertambah, berarti ada yang salah dengan jenis atau intensitas
olahraga yang dilakukan. Lakukan pemeriksaan tekanan darah dan suhu tubuh
dengan rutin. Lalu, bandingkan hasilnya sebelum dan sesudah berolahraga. Jika
hasilnya berbeda, berarti ada yang salah dalam berolahraga.
Akibat dari berolahraga berlebihan, badan sakit dan malas
beraktivitas. Jika badan sakit dan malah jadi malas beraktivitas, berarti ada
yang salah dengan jenis dan intensitas dari olahraga tersebut. Setelah olahraga
tersebut selama beberapa hari, “Segera konsultasi ke dokter untuk menemukan
penyebab dan mencari solusinya.
Jenis-jenis
olahraga yang sesuai untuk seorang non atlet. Seorang dapat melakukan lari
ringan (jogging) secara teratur dengan intensitas ringan. Bersepeda pagi hari dengna
intensitas sedang (15 menit ) juga baik untuk kesehatan dan kebugaran tubuh.
Olahraga secara
teratur baik untuk kesehatan dan kebugaran tubuh anda. Semua dilakukan dengan
memperhatikan kebutuhan setiap seseorang. Untuk non atlet janganlah melakukan olahraga
dengan intensitas tinggi karena akan membahayakan keshatan anda. Tergantung
tujuan. Kalau tujuannya untuk menjadi atlet, memang harus berolahraga di atas
rata-rata. Tapi, jika hanya ingin mendapat tubuh sehat. Olahraga berat juga
harus dilakukan setelah Anda berkonsultasi dengan dokter dan mendapatkan
persetujuannya. Alasannya, supaya cedera permanen dapat dicegah.
Sumber :
http://www.tabloidnova.com/Nova/Kesehatan/Kebugaran/Mitos-dan-Fakta-Olahraga-Malam-Bikin-Lapar
Pengakuan Hak Kekayaan Intelektual
(HKI) di Indonesia
Keberadaan Hak Kekayaan
Intelektual (HKI) dalam hubungan antar manusia dan antar negara merupakan
sesuatu yang tidak dapat dipungkiri. HKI juga merupakan sesuatu yang given
dan inheren dalam sebuah masyarakat industri atau yang sedang mengarah ke
sana. Keberadaannya senantiasa mengikuti dinamika perkembangan masyarakat itu
sendiri. Begitu pula halnya dengan masyarakat dan bangsa Indonesia yang mau
tidak mau bersinggungan dan terlibat langsung dengan masalah HKI.
Secara umum Hak Kekayaan Intelektual dapat terbagi dalam
dua kategori yaitu: Hak Cipta dan Hak Kekayaan Industri. Sedangkan Hak
Kekayaan Industri meliputi Merek, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit
Terpadu, Rahasia Dagang dan Varietas Tanaman.
Sebagai konsekuensi dari keikutsertaan Indonesia sebagai
anggota WTO (World Trade Organization ) mengharuskan Indonesia menyesuaikan
segala peraturan perundangannya di bidang Hak Kekayaan Intelektual dengan
standar TRIP's (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) yang
dimulai sejak tahun 1997 dan diperbaharui kemudian pada tahun 2000 dan tahun
2001. Hal ini juga akibat dari telah diratifikasinya konvensi-konvensi
internasional di bidang Hak Kekayaan Intelektual dan juga telah menyesuaikan
dengan ketentuan-ketentuan yang diharuskan yaitu Undang-undang tentang Hak
Cipta, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Rahasia Dagang,
Paten dan Merek.
Permasalahan mengenai Hak Kekayaan Intelektual akan
menyentuh berbagai aspek seperti aspek teknologi, industri, sosial, budaya,
dan berbagai aspek lainnya. Namun aspek terpenting jika dihubungkan dengan
upaya perlindungan bagi karya intelektual adalah aspek hukum. Hukum
diharapkan mampu mengatasi berbagai permasalahan yang timbul berkaitan dengan
Hak Kekayaan Intelektual tersebut. Hukum harus dapat memberikan perlindungan
bagi karya intelektual, sehingga mampu mengembangkan daya kreasi masyarakat
yang akhirnya bermuara pada tujuan berhasilnya perlindungan Hak Kekayaan
Intelektual.
Aspek teknologi juga merupakan faktor yang sangat dominan
dalam perkembangan dan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual. Perkembangan
teknologi informasi yang sangat cepat saat ini telah menyebabkan dunia terasa
semakin sempit, informasi dapat dengan mudah dan cepat tersebar ke seluruh
pelosok dunia. Pada keadaan seperti ini Hak Kekayaan Intelektual menjadi
semakin penting. Hal ini disebabkan Hak Kekayaan Intelektual merupakan hak
monopoli yang dapat digunakan untuk melindungi investasi dan dapat dialihkan
haknya.
Instansi yang berwenang dalam mengelola Hak Kekayaan Intelektual
di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen.
HKI) yang berada di bawah Departemen Kehakiman dan HAM Republik
Indonesia. Dan khusus untuk mengelola informasi HKI juga telah dibentuk
Direktorat Teknologi Informasi di bawah Ditjen. HKI. Sekali lagi menunjukkan
bahwa pengakuan HKI di Indonesia benar-benar mendapat perhatian yang serius.
Dengan adanya sebuah sistem informasi Hak Kekayaan
Intelektual yang integral dan mudah diakses oleh masyarakat, diharapkan
tingkat permohonan pendaftaran Hak Kekayaan Indonesia di Indonesia semakin
meningkat. Sedangkan dengan penegakan hukum secara integral (dimana termasuk
di dalamnya Hak Kekayaan Intelektual), pelanggaran dalam bentuk pembajakan
hasil karya intelektual yang dilindungi undang-undang akan semakin berkurang.
Sinergi antara keduanya, sistem informasi Hak Kekayaan Intelektual dan
penegakan hukum yang integral, pada akhirnya akan membawa bangsa Indonesia
kepada kehidupan yang lebih beradab, yang menghormati hasil karya cipta orang
lain.
Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual
Kepentingan
polisi dalam kedudukannya sebagai penyidik tindak pidana menggambarkan bahwa
penegak hukum dalam konteks Criminal Justice System, merupakan pintu utama dari
aparat penegak hukum lainnya. Proses penegakan hukum yang benar akan memberikan
perlindungan dan kepastian hukum terhadap masyarakat. Berdasarkan kewenangannya
polisi diperbolehkan untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang
yang dicurigai telah melakukan pelanggaran hukum pidana atau melakukan
kejahatan.
Dalam
perspektif kriminologi, kejahatan bukan saja suatu perbuatan yang melanggar
undang-undang atau hukum pidana tetapi lebih luas lagi mencakup setiap
perbuatan anti sosial dan yang merugikan masyarakat walaupun perbuatan tersebut
belum atau tidak diatur oleh undang-undang atau hukum pidana. Hal tersebut
menunjukkan bahwa peranan polisi dalam menegakkan hukum memiliki posisi yang
sangat penting terkait dengan perannya yang berhubungan langsung dengan
masyarakat maupun pelanggar hukum. Orang yang telah melakukan kejahatan tidak
akan dengan sendirinya menyerahkan diri untuk diproses melalui sistem peradilan
yang ada. Karena itu, harus ada suatu badan publik yang memulainya, dan itu
pertama-tama dilakukan oleh polisi dengan melakukan penahanan dan penyidikan.
Kepolisian
merupakan salah satu lembaga dalam sistem peradilan pidana yang diberi wewenang
untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap peristiwa kejahatan.
Menurut pasal 1 butir 2 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana),
”Penyidikan adalah serangklaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang
terjadi dan guna menemukan tersangkanya.” Sedangkan tersangka adalah seorang
yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut
diduga sebagai pelaku tindak pidana. Hal ini sama dengan yang dijelaskan dalam
pasal 1 butir 13 Undang-Undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia. Polisi merupakan aparat penegak hukum yang langsung
berhadapan dengan masyarakat, polisi diberi ruang oleh hukum untuk mengambil
berbagai tindakan yang diperlukan menurut pertimbangan sesaat pada waktu
kejadian berlangsung. Berdasarkan kewenangan tersebut, polisi diperbolehkan
untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang dicurigai telah
melakukan tindakan kejahatan berdasarkan bukti-bukti dan aturan hukum yang
telah ditetapkan. Polisi juga diberi kewenangan untuk meminta keterangan kepada
setiap warga masyarakat yang mengetahui jalannya suatu peristiwa kejahatan,
untuk dijadikan saksi yang diperlukan dalam proses pemeriksaan tersangka pelaku
kejahatan. Sepak terjang polisi akan langsung dilihat dan dirasakan oleh
masyarakat. Pada kontak langsung dengan masyarakat inilah citra polisi akan
sangat ditentukan. Citra polisi yang buruk di masyarakat karena polisi kurang
mampu bersikap mandiri dalam mengusut kasus kejahatan akan membawa dampak pada
proses pemeriksaan pelaku kejahatan pada tahap berikutnya.
Undang-Undang
Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia pada pasal 13
menyatakan bahwa “Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: 1)
Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; 2) Menegakkan hukum; dan 3)
Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat” . Akibat
kewenangan polisi tersebut, bagi orang yang dicurigai melakukan tindakan
kejahatan maka polisi akan menangkap dan menahan pelaku kejahatan.
Dalam
menjalankan tugasnya, polisi tidak hanya dihadapkan dengan kejahatan biasa
(konvensional) tetapi juga kejahatan ekonomi yang merugikan masyarakat. Jika
pada masa dahulu, kita mengenal bentuk kejahatan yang sederhana, seperti
mencuri, merampok, menipu atau bahkan membunuh. Setelah itu, pelaku akan melarikan
diri atau melaporkan diri kepada polisi. Namun pada akhirnya pun
kejahatan-kejahatan tersebut menunjukkan keseriusan kejahatan yang semakin
meningkat. Meningkatnya keseriusan kejahatan, meningkatkan pula tindakan polisi
dalam memperlakukan pelaku kejahatan. Misalnya, polisi terpaksa harus menembak
terlebih dahulu terhadap pelaku kejahatan daripada menjadi korban akibat
kekerasan pelaku kejahatan. Hal tersebut disebabkan semakin banyak pelaku
kejahatan yang nekad melakukan perlawanan terhadap polisi.
Pada masa
sekarang, bentuk kejahatan sudah berubah, di samping bentuk kejahatan
konvensional, kejahatan terhadap ekonomi memiliki modus operandi yang sulit
dalam pengungkapannya dan dilakukan oleh orang berpendidikan tinggi. Kejahatan
dilakukan tidak lagi oleh orang miskin, para pejabat maupun pengusaha yang
tidak miskin melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat. Kejahatan yang
dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari kelas sosial ekonomi tinggi
tersebut menurut Sutherland merupakan suatu bentuk kejahatan yang dikenal
dengan White Collar Crime yaitu orang dari kelas sosial ekonomi tinggi yang
melakukan pelanggaran terhadap hukum yang dibuat untuk mengatur pekerjaannya.
Karena itu, sudah menjadi kenyataan bahwa semakin maju suatu negara akan
semakin banyak pula muncul bentuk kejahatan di negara tersebut. Modus
operandinya pun semakin canggih melalui tehnik-tehnik yang tidak mudah dilacak,
melakukan pemalsuan dokumen yang sangat rapi dengan penyalahgunaan komputer,
termasuk di dalamnya kasus pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI).
Hak Kekayaan
Intelektual (HKI) pada hakekatnya sama halnya dengan hak kekayaan kebendaan
lainnya yaitu memberikan hak kepada para pencipta atau pemiliknya untuk
mendapatkan keuntungan dari investasi dari karya intelektualnya di bidang
kekayaan industri dan karya cipta yang disebut Hak Cipta. Kasus pelanggaran Hak
Kekayaan Intelektual (HKI) di Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata.
Akibat pelanggaran HKI tersebut, bukan hanya negara dirugikan dan mengancam
arus investasi, tetapi Indonesia bisa juga terancam terkena embargo atas produk
ekspornya. Perkembangan teknologi, terutama perkembangan teknologi digital,
dianggap mendukung tumbuh suburnya pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI).
Penegakkan Hukum.
Kemajuan teknologi digital selain memberikan dampak positif berupa tersedianya
media untuk karya cipta yang pada akhirnya menghasilkan kualitas tampilan karya
cipta yang baik dan modern. Namun, dampak negatifnya terjadi penyalahgunaan
teknologi digital itu oleh pihak-pihak tertentu dengan melakukan
praktek-praktek yang bertentangan dengan hukum. Pelanggaran HKI menjadi mudah
karena kemajuan teknologi digital, walaupun akibatnya HKI di sektor teknologi
pun menjadi korban pertama pelanggaran tersebut. Dengan menggunakan komputer,
pelanggaran-pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual semakin mudah. Komputer mampu
mampu meggandakan dan mencetak ditambah dengan kemampuan intenet dalam
menyajikan informasi menyebabkan praktek penggandaan menjadi semakin mudah pula
dilakukan.
Tidak ada jalan
lain untuk mengatasi hal itu selain dengan menegakkan fungsi hukum. Sanksi
terhadap pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI) selama ini belum
menimbulkan efek jera bagi pelakunya sehingga tingkat pelanggarannya terus
meningkat, meskipun pemerintah sudah memiliki perangkat undang-undangnya.
Kendala lainnya yaitu terbatasnya aparat penegak hukum yang menangani masalah
Hak Kekayaan Intelektual, ringannya putusan yang dijatuhkan oleh proses
peradilan kepada pelanggar, sehingga tidak menimbulkan efek jera tadi. Selain
itu, kurangnya kesadaran masyarakat untuk menghargai dan mentaati hukum di
bidang HKI dan terbatasnya daya beli masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan
koordinasi antar aparat penegak hukum dan instansi terkait dalam merumuskan
serta menetapkan kebijakan strategis yang akan dijadikan target untuk
menurunkan dan menghilangkan pelanggaran HKI, serta meningkatkan kesadaran
masyarakat untuk menghargai HKI orang lain. Berkurang atau hilangnya
pelanggaran HKI di Indonesia, pada gilirannya dapat menarik para investor
khususnya investor dari luar negeri untuk menanamkan/membuka usaha di Indonesia
baik di bidang Hak Cipta maupun di bidang HKI, sehingga dapat menciptakan
lapangan kerja baru yang dalam skala makro akan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi nasional.
Para investor
dari luar negeri pada umumnya menempatkan perlindungan HKI sebagai prasyarat
investasi utama mereka di suatu Negara. Upaya itu perlu dilakukan dengan
strategi yang terkoordinir sehingga menurunkan posisi Indonesia di “priority
watch list” menjadi “watch list”. Karena itu perangkat hukum sudah ada,
political will dari pemerintah sudah ada, tinggal sekarang political action.
Untuk itu perlu mensinergikan dan meningkatkan kembali koordinasi dan kerjasama
di antara aparat yang terkait, terutama aparat di bidang hukum. Dalam upaya
penegakkan hukum, tugas polisi tidak saja menyangkut kejahatan serius dengan
kekerasan. Polisi juga diwajibkan menegakkan hukum dalam kejahatan-kejahatan
ringan sifatnya. Termasuk juga kejahatan ekonomi yang juga merugikan
masyarakat, sehingga perlu mendapatkan penanganan yang serius pula. Karena itu
berdasarkan kewenangannya, polisi sebagai alat negara penegak hukum mempunyai
kewenangan mempergunakan upaya paksa untuk memanggil, menggeledah, menangkap
dan menahan tersangka pelaku kejahatan.
Secara yuridis
formal, para pelaku kejahatan yang dinyatakan sebagai tersangka tersebut
sebenarnya masih dalam proses penyidikan yang berlangsung di pihak kepolisian
dan belum mendapat suatu putusan tetap dari pengadilan. Jika mendasarkan pada
asas praduga tak bersalah, para pelaku kejahatan harus dianggap tidak bersalah,
sebelum kesalahan yang diperbuat oleh para pelaku dinyatakan dan dibuktikan
dalam sidang pengadilan.
Berdasarkan pemahaman bahwa kalau orang bicara tentang pelaku kejahatan maka
konotasi orang akan menunjuk orang miskin dan tidak berpendidikan yang
merupakan pelaku kejahatan. Hasil penelitian yang dilakukan Sutherland
mengatakan bahwa pengusaha yang tidak miskin juga melakukan tindakan yang
merugikan masyarakat. Kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang berasal
dari kelas sosial ekonomi tinggi tersebut menurut Sutherland merupakan suatu
bentuk kejahatan yang dikenal dengan White Collar Crime yaitu orang dari kelas
sosial ekonomi tinggi yang melakukan pelanggaran terhadap hukum yang dibuat
untuk mengatur pekerjaannya.
Demikian juga dalam hal pemberian sanksi hukum kepada para pelaku white collar
crime pada umumnya relatif ringan, padahal kerugian yang yang diakibatkan oleh
para pelanggar hukum ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan kejahatan
terhadap harta benda yang konvensional.
Penegakan hukum
terhadap pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual hanya mampu menyelesaikan masalah
yang timbul dipermukaan saja, tetapi lebih daripada itu diperlukan upaya-upaya
untuk menyelesaikan akar permasalahan yang timbul di bawah permukaan melalui
tindakan pre-emtif dan preventif sebagai sebuah perlindungan HKI secara
komprehensif dengan melibatkan semua instansi pemerintah yang bertanggung
jawab. Karena itu penegakan hukum hanya merupakan upaya penyelesaian sementara
dari masalah yang timbul di permukaan. Sementara itu harus dipahami bahwa
terdapat berbagai masalah yang lebih mendasar di bawah permukaan yang harus
mampu diselesaikan dengan cerdas dan penuh kebijakan.
Penegakan hukum bukan satu-satunya upaya yang ampuh dalam memberikan
perlindungan HKI di Indonesia, karena penegakan hukum hanya bagian dari sebuah
proses perlindungan HKI. Penegakkan hukum hanya merupakan sub-sistem yang
bersifat represif dari sebuah sistem perlindungan HKI. Sub-sistem lain yang
sama pentingnya adalah sub-sistem pre-emtif dengan meningkatkan kesadaran dan
pengetahuan masyarakat termasuk aparat pemerintah dan penegak hukum,
ketersediaan dan kemampuan daya beli masyarakat. Di samping itu juga upaya preventif
menjadi bagian dari upaya pencegahan dalam rangka mempersempit peluang
terjadinya proses pelanggaran, seperti tidak memberikan ijin kepada toko atau
kaki lima yang telah melanggar atau mencabut ijin pabrik yang pernah melanggar.
Penegakan hukum
yang kuat dan konsisten sangat penting dalam memberikan perlindungan terhadap
Hak Kekayaan Intelektual (HKI), namun mencegah terhadap terjadinya pelanggaran
menjadi lebih penting lagi untuk meningkatkan kualitas warga negara dan
peradaban bangsa Indonesia, karena itu prlu dilakukan introspeksi yang
komprehensif terhadap kinerja pemerintah dalam memberikan perlindungan atas
kekayaan intektual. Sesuai dengan prinsipnya, bahwa hukum hanyalah berfungsi
sebagai media untuk menjaga kepentingan hukum dalam masyarakat, maka
perkembangan teknologi digital yang terjadi di dunia industri harus diberikan
apresiasi yang positif sebagai konsekuens kemajuan di bidang teknologi yang
dicapai oleh manusia. Agar perkembangan tersebut tidak menimbulkan masalah baru
maka tetap harus dibarengi dengan tersedianya perangkat hukum yang memadai
serta dapat menjamin adanya kepastian hak dan kewajiban serta pengaturan
tentang larangan dan kewajiban yang harus dipatuhi.
Penegakan hukum bidang hak atas kekayaan intelektual tidak berdiri sendiri,
tetapi sangat tergantung pada proses penegakan hukum secara umum, oleh karena
itu kalau sistem penegakan hukum secara umum baik maka penegakan hukum HAKI
juga akan baik. Aparat penegak hukum sering melakukan razia dan penggerebekan
terhadap pusat-pusat penjualan barang bajakan, penggerebekan terhadap pabrik
pangganda optical disc serta menyita barang selundupan hasil kejahatan terhadap
produk HaKI. Bahkan banyak kasus kejahatan terhadap terhadap produk HaKI yang
sudah sampai ke pengadilan, bahkan pelakunya sudah dihukum. Selama ini polisi
sudah bersusah payah menyeret pelakunya ke pengadilan dengan mencari
bukti-bukti pendukung kejahatan. Tapi terhadap beberapa kasus setelah sampai di
pengadilan, hakim menjatuhkan vonis percobaan. Hakim hendaknya harus berani
menjatuhkan hukuman maksimal bila sudah ada bukti yang kuat terjadinya
pelanggaran.
Perlindungan Hukum Terhadap Hak Atas Kekayaan
Intelektual (Kejahatan Merek)
Begitu
banyak terjadi pelanggaran Hak Atas Kekayaan Intelektual, khususnya di bidang Merek
di Indonesia. Kondisi ini cukup memprihatinkan, dimana Indonesia telah
meratifikasi Persetujuan Akhir Putaran Uruguay dengan UU No. 7 tahun 1994, yang
salah satunya berisi tentang aspek-aspek perlindungan di bidang Hak Atas
kekayaan Intelektual. Dalam kaitan ini sejauhmana Indonesia telah
mengantisipasi berlakunya persetujuan tersebut pada tanggal 1 Januari tahun
2000. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui perlindungan hukum yang
diberikan oleh UU No. 19 tahun 1992 dan bagaimana keterkaitannya dengan UU No.
7 tahun 1994 serta untuk mengetahui aspek-aspek penegakan hukum terhadap
kejahatan Merek. Adapun Metodologi Penelitian yang digunakan meliputi : obyek
penelitian dibatasi pada UU No. 19 tahun 1992 dan bagaimanakah keterkaitannya
dengan UU No. 7 tahun 1994 yang berkaitan dengan TRIPs serta bagaimanakah
penegakan hukum dilakukan dalam upaya penanggulangan kejahatan Merek. Berkaitan
dengan obyek yang hendak diteliti mencakup bidang normatif dan empiris. Adapun
jenis data meliputi data primer dan data sekunder. Sedangkan teknik pengumpulan
data ditempuh melalui studi dokumen, wawancara dan pengamatan. Wilayah
penelitian di DKI Jakarta dan Jawa Barat. Teknik penyajian data dilakukan
dengan teknik kualitatif dan analisa datanya dilakukan secara kualitatif dengan
menggunakan teknik secara taksonomi. Hasil Penelitian sebagai berikut :
a.UU
No. 19 tahun 1992 telah memberikan kepastian dan perlindungan hukum balk kepada
pemilik maupun kepada konsumen, meskipun dalam pelaksanaannya masih terdapat
beberapa kendala dalam penerapannya.
b.Konsekwensi
diratifikasinya persetujuan akhir putaran Uruguay yang berkaitan dengan TRIPs
oleh UU No. 7 tahun 1994, berupa akibat hukum eksternal yang berarti bersedia
menerima segala kewajiban yang dibebankan oleh persetujuan internasional,
sedangkan akibat hukum internal adalah kewajiban dalam arti tidak terbatas pada
usaha untuk merubah hukum nasionalnya agar sesuai dengan ketentuan TRIPs, namun
juga harus disertai jaminan bahwa hukum nasional itu nantinya dapat berlaku
efektif.
c.c.Tidak
dapat dipungkiri pembajakan produk pakaian jadi Merek terkenal, seperti Hammer,
Guess, Espril, D&G, Country Fiesta, Osella, Levis, begitu bebasnya
dipasarkan di Blok M, Tanah Abang Jakarta dan Pasar Baru Bandung, tanpa adanya
tindakan dari aparat penegak hukum.Diakui ada beberapa perusahaan yang telah
ditindak, tetapi masih terbatas pada perusahaan kelas ten ( pengusaha konveksi
) yang tidak mempunyai status ekonomi politik yang kuat. Kesimpulan :
oPemerintah
Cq Dirjen HCPM belum memiliki pengalaman dan keseriusan dalam melakukan
pembinaan Merek, hal ini masih terbukti setelah 5 tahun berlakunya UU No. 19
tahun 1992 masih melakukan pembenahan menyangkut syarat-syarat pendaftaran
Merek, masih belum dibentuknya komisi banding, belum adanya PP menyangkut
persyaratan dan tata cara permintaan pencatatan lisensi.
o2.Secara
jujur harus diakui masih berat upaya pemerintah dalam menghadapi berlakunya
persetujuan TRIPs di era perdagangan bebas, khususnya menyangkut aspek
struktural maupun budaya hukum yang masih cukup memprihatinkan.
o3.
Kejahatan Merek sebagai salah satu jenis kejahatan di bidang ekonomi,
memerlukan strategi khusus dalam penegakannya, berbeda dengan penegakan hukum
terhadap kejahatan lainnya. Untuk itu diperlukan pendekatan melalui politik kriminal.
Terkait
disini disamping masalah hukum ( pidana, perdata, administrasi ), juga masalah
etik dan moral. Saran-Saran:
1.Perlu
adanya usaha untuk menyebarluaskan pemahaman tentang arti, fungsi dan peranan
HAKI, khususnya di bidang Merek balk kepada masyarakat untuk mengetahui tentang
hak dan kewajibannya selaku konsumen produk, kepada para petugas instansi
terkait, juga kepada aparat penegak hukum untuk lebih meningkatkan
profesionalismenya.
2.Perlunya
pembenahan administrasi yang jauh dari birokrasi yang berbelit disamping adanya
tenaga yang handal.
3.Perlu
adanya kemauan politik dari pemerintah dan segenap pihak yang terkait untuk
secara lebih sungguh-sungguh memberantas kejahatan Merek. Untuk itu peningkatan
koordinasi antar lembaga ( Dirjen HCPM, Dirjen Bea Cukai, Dirjen Imigrasi dan
aparat penegak hukum ) merupakan solusi terbaik.
Perdagangan internasional telah ada sejak
lahirnya negara dalam arti modern. Sejak saat itu, hukum perdagangan
internasional telah mengalami perkembangan yang cukup pesat sesuai dengan
perkembangan hubungan-hubungan perdagangan.
Dilihat
dari perkembangan sumber hukumnya (dalam arti materil), maka perkembangan hokum
perdagangan internasional dapat dikelompokkan ke dalam 3 tahap, yakni:
1)
Hukum perdagangan internasional dalam masa awal pertumbuhan.Hukum perdagangan
internasional lahir pada awalnya dari praktek para pedagang. Hukum yang
diciptakan oleh para pedagang ini lazim disebut pula sebagai lex mercatoria
(law of merchant). Pada awal perkembangannya ini Lex Mercatoria tumbuh dari
adanya 4 faktor berikut:
Ølahirnya aturan-aturan yang timbul
dari kebiasaan dalam berbagai pekan raya (the law of the fairs);
Ølahirnya kebiasaan-kebiasaan dalam
hukum laut;
Ølahirnya kebiasaan-kebiasaan yang
timbul dari praktek penyelesaian sengketa-sengketa di bidang perdagangan; dan
Øberperannya notaris (public notary)
dalam memberi pelayanan jasa-jasa hukum(dagang).
2)
Hukum perdagangan internasional yang dicantumkan dalam hukum nasional
Dalam
tahap perkembangan ini, negara-negara mulai sadar perlunya pengaturan hukum
perdagangan internasional. Mereka lalu mencantumkan aturan-aturan perdagangan
internasional dalam kitab undang-undang hukum (perdagangan internasional)
mereka. Aturan aturan tersebut sedikit banyak adalah aturan-aturan yang mereka
adopsi dari lex mercatoria. Misalnya saja Perancis membuat Kitab Undang-undang
Hukum Dagang-nya (code de commerce) tahun 1807, Jerman menerbitkan Allgemeine
Handelsgezetbuch tahun 1861, dll.
3)
Lahirnya aturan-aturan hukum perdagangan internasional dan Munculnya
Lembaga-lembaga Internasional yang mengurusi Perdagangan Internasional.
Dalam
perkembangan ketiga ini, aturan-aturan hokum perdagangan internasional lahir
sebagian besar karena dipengaruhi oleh semakin banyaknya berbagai perjanjian
internasional yang ditandatangani baik secara bilateral, regional, maupun
multilateral.
Secara
khusus tahap ketiga ini muncul secara signifikan setelah berakhirnya Perang
Dunia II. Salah satu perjanjian multilateral yang ditandangani pada masa ini
adalah disepakati lahirnya GATT tahun 1947. Tahap ketiga ini disebut juga
dengan tahap “internationalism”. Schmitthoff menyatakan sebagai berikut:
“We are beginning to rediscover the
international character of commercial law and the circle now contemplates
itself: the general trend of commercial law everywhere is to move away from the
restrictions of national law to a universal, international conception of the
law of international trade.”
Sejak
berdiri hingga dewasa ini aturan-aturan perdagangan GATT telah berkembang dan
mengalami pembangunan yang cukup penting. Bahkan dalam putaran perundingan
tahun 1986-1994, negara-negara anggota GATT telah sepakat untuk membentuk suatu
badan atau lembaga internasional baru, yaitu WTO.
Perubahan
dari GATT ke WTO berdampak luas terhadap bidang hukum perdagangan
internasional. Alasannya, bidang pengaturan yang tercakup di dalam WTO sekarang
ini adalah kompleks. Ia tidak semata-mata lagi mengatur tarif dan barang,
tetapi juga mengatur jasa, hak kekayaan intelektual, penanaman modal,
lingkungan, dll.
Ciri
kedua dalam perkembangan tahap ketiga ini yakni munculnya organisasi
internasional. Salah satu badan yang menonjol adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB). Sebetulnya peran PBB di bidang perdagangan internasional tidaklah
langsung. Peran PBB di bidang ekonomi dan perdagangan ini termuat dalam pasal
1:3 Piagam PBB, yakni aturan tentang tujuan PBB yakni mencapai kerjasama
internasional di dalam antara lain menyelesaikan masalah-masalah ekonomi
internasional.
Asuransi atau Pertanggungan adalah
perjanjian dengan mana penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan
menerima premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena kerugian,
kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin dideritanya
akibat dari suatu evenemen (peristiwa tidak pasti). Menurut Ketentuan
Undang–undang No.2 tahun 1992 tertanggal 11 Pebruari 1992 tentang Usaha
Perasuransian (UU Asuransi), Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian
antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri
kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian
kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan,
atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita
tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk
memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya
seseorang yang dipertanggungkan.
Berdasarkan definisi tersebut di
atas maka asuransi merupakan suatu bentuk perjanjian dimana harus dipenuhi
syarat sebagaimana dalam Pasal 1320 KUH Perdata, namun dengan karakteristik
bahwa asuransi adalah persetujuan yang bersifat untung-untungan sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 1774 KUH Perdata.
Menurut Pasal 1774 KUH Perdata,
“Suatu persetujuan untung–untungan (kansovereenkomst) adalah suatu perbuatan
yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak maupun bagi
sementara pihak, bergantung kepada suatu kejadian yang belum tentu”.
Beberapa hal penting mengenai
asuransi:
Merupakan suatu perjanjian yang harus memenuhi Pasal
1320 KUH Perdata;
Perjanjian tersebut bersifat adhesif artinya isi
perjanjian tersebut sudah ditentukan oleh Perusahaan Asuransi (kontrak
standar). Namun demikian, hal ini tidak sejalan dengan ketentuan dalam
Undang-undang No.8 tahun 1999 tertanggal 20 April 1999 tentang
Perlindungan Konsumen;
Terdapat 2 (dua) pihak di dalamnya yaitu Penanggung dan
Tertanggung, namun dapat juga diperjanjikan bahwa Tertanggung berbeda
pihak dengan yang akan menerima tanggungan;
Adanya premi sebagai yang merupakan bukti bahwa
Tertanggung setuju untuk diadakan perjanjian asuransi;
Adanya perjanjian asuransi mengakibatkan kedua belah
pihak terikat untuk melaksanakan kewajibannya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa
unsur-unsur yang harus ada pada Asuransi adalah:
Subyek hukum (penanggung dan tertanggung);
Persetujuan bebas antara penanggung dan tertanggung;
Benda asuransi dan kepentingan tertanggung;
Tujuan yang ingin dicapai;
Resiko dan premi;
Evenemen (peristiwa yang tidak pasti) dan ganti kerugian;
Syarat-syarat yang berlaku;
Polis asuransi
Tujuan Asuransi
a. Pengalihan Risiko
Tertanggung mengadakan asuransi
dengan tujuan mengalihkan risiko yang mengancam harta kekayaan atau jiwanya.
Dengan membayar sejumlah premi kepada perusahaan asuransi (penanggung), sejak
itu pula risiko beralih kepada penanggung.
b. Pembayaran Ganti Kerugian
Jika suatu ketika sungguh–sungguh
terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian (risiko berubah menjadi kerugian),
maka kepada tertanggung akan dibayarkan ganti kerugian yang besarnya seimbang
dengan jumlah asuransinya. Dalam prakteknya kerugian yang timbul itu dapat
bersifat sebagian (partial loss), tidak semuanya berupa kerugian total (total
loss). Dengan demikian, tertanggung mengadakan asuransi bertujuan untuk
memperoleh pembayaran ganti kerugian yang sungguh-sungguh diderita.
Dalam pembayaran ganti kerugian oleh
perusahaan asuransi berlaku prinsip subrogasi (diatur dalam pasal 1400 KUH Per)
dimana penggantian hak si berpiutang (tertanggung) oleh seorang pihak ketiga
(penanggung/pihak asuransi) yang membayar kepada si berpiutang (nilai klaim
asuransi) terjadi baik karena persetujuan maupun karena undang-undang.
Berlakunya Asuransi
Hak dan kewajiban penanggung dan
tertanggung timbul pada saat ditutupnya asuransi walaupun polis belum
diterbitkan. Penutupan asuransi dalam prakteknya dibuktikan dengan disetujuinya
aplikasi atau ditandatanganinya kontrak sementara (cover note) dan
dibayarnya premi. Selanjutnya sesuai ketentuan perundangan-undangan yang
berlaku, penanggung atau perusahaan asuransi wajib menerbitkan polis asuransi (Pasal
255 KUHD).
Jenis Asuransi
Asuransi pada umumnya dibagi menjadi
dua yaitu:
Asuransi Kerugian dan Asuransi Jiwa.
1. Asuransi Kerugianterdiri
dari:
Asuransi Kebakaran,
Asuransi Kehilangan dan Kerusakan,
Asuransi Laut,
Asuransi Pengangkutan,
Asuransi Kredit.
2. Asuransi Jiwa terdiri dari:
Asuransi Kecelakaan,
Asuransi Kesehatan,
Asuransi Jiwa Kredit.
Landasan Hukum
Secara yuridis, hukum asuransi di
Indonesia tertuang dalam beberapa produk hukum seperti Undang-undang, Peraturan
Pemerintah, dan Keputusan Menteri Keuangan, di antaranya sebagai berikut :
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian.
Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.
Peraturan PemerinyahNomor 63 Tahun 1999 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.
KMK No.426/KMK/2003 tentang Perizinan Usaha dan
Kelembagaan PerusahaanAsuransi dan Perusahaan Reasuransi.
KMK No.425/KMK/2003 tentang Perizinan dan
Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi.
KMK No.423/KMK/2003 tentang PemeriksaanPerusahaan
Perasuransian.
Hukum dalam Asuransi
Asuransi adalah istilah yang
digunakan untuk merujuk pada tindakan, sistem, atau bisnis dimana perlindungan
finansial (atau ganti rugi secara finansial) untuk jiwa, properti, kesehatan
dan lain sebagainya mendapatkan penggantian dari kejadian-kejadian yang tidak
dapat diduga yang dapat terjadi seperti kematian, kehilangan, kerusakan atau
sakit, dimana melibatkan pembayaran premi secara teratur dalam jangka waktu
tertentu sebagai ganti polis yang menjamin perlindungan tersebut.
Menurut Undang-Undang No.2 Tahun
1992 Pasal 1 : “Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak
atau lebih, dengan mana pihak Penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung,
dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung
karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau
tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung
yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu
pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang
dipertanggungkan”.
Didalam asuransi terdapat hukum –
hukum asuransi yaitu :
Asuransi dalam Undang-Undang No.2 Th
1992 Asuransi dalam Undang-Undang No.2 Th 1992 tentang usaha perasuransian
adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung
mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk
memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum pihak ke tiga yang mungkin
akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti,
atau memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya
seseorang yang dipertanggungkan.
Badan yang menyalurkan risiko
disebut “tertanggung”, dan badan yang menerima risiko disebut “penanggung”.
Perjanjian antara kedua badan ini disebut kebijakan: ini adalah sebuah kontrak
legal yang menjelaskan setiap istilah dan kondisi yang dilindungi. Biaya yang
dibayar oleh “tetanggung” kepada “penanggung” untuk risiko yang ditanggung
disebut “premi”. Ini biasanya ditentukan oleh “penanggung” untuk dana yang bisa
diklaim di masa depan, biaya administrative dan keuntungan.
Contohnya, seorang pasangan membeli
rumah seharga Rp. 100 juta. Mengetahui bahwa kehilangan rumah mereka akan
membawa mereka kepada kehancuran finansial, mereka mengambil perlindungan
asuransi dalam bentuk kebijakan kepemilikan rumah. Kebijakan tersebut akan
membayar penggantian atau perbaikan rumah mereka bila terjadi bencana.
Perusahaan asuransi mengenai mereka premi sebesar Rp1 juta per tahun. Risiko
kehilangan rumah telah disalurkan dari pemilik rumah ke perusahaan asuransi.