Rabu, 30 Mei 2012

Pengakuan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Indonesia




Pengakuan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Indonesia

Keberadaan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dalam hubungan antar manusia dan antar negara merupakan sesuatu yang tidak dapat dipungkiri. HKI juga merupakan sesuatu yang given dan inheren dalam sebuah masyarakat industri atau yang sedang mengarah ke sana. Keberadaannya senantiasa mengikuti dinamika perkembangan masyarakat itu sendiri. Begitu pula halnya dengan masyarakat dan bangsa Indonesia yang mau tidak mau bersinggungan dan terlibat langsung dengan masalah HKI.
Secara umum Hak Kekayaan Intelektual dapat terbagi dalam dua kategori yaitu: Hak Cipta dan Hak Kekayaan Industri. Sedangkan Hak Kekayaan Industri meliputi Merek, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Rahasia Dagang dan Varietas Tanaman.
Sebagai konsekuensi dari keikutsertaan Indonesia sebagai anggota WTO (World Trade Organization ) mengharuskan Indonesia menyesuaikan segala peraturan perundangannya di bidang Hak Kekayaan Intelektual dengan standar TRIP's (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) yang dimulai sejak tahun 1997 dan diperbaharui kemudian pada tahun 2000 dan tahun 2001. Hal ini juga akibat dari telah diratifikasinya konvensi-konvensi internasional di bidang Hak Kekayaan Intelektual dan juga telah menyesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang diharuskan yaitu Undang-undang tentang Hak Cipta, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Rahasia Dagang, Paten dan Merek.
Permasalahan mengenai Hak Kekayaan Intelektual akan menyentuh berbagai aspek seperti aspek teknologi, industri, sosial, budaya, dan berbagai aspek lainnya. Namun aspek terpenting jika dihubungkan dengan upaya perlindungan bagi karya intelektual adalah aspek hukum. Hukum diharapkan mampu mengatasi berbagai permasalahan yang timbul berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual tersebut. Hukum harus dapat memberikan perlindungan bagi karya intelektual, sehingga mampu mengembangkan daya kreasi masyarakat yang akhirnya bermuara pada tujuan berhasilnya perlindungan Hak Kekayaan Intelektual.
Aspek teknologi juga merupakan faktor yang sangat dominan dalam perkembangan dan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual. Perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat saat ini telah menyebabkan dunia terasa semakin sempit, informasi dapat dengan mudah dan cepat tersebar ke seluruh pelosok dunia. Pada keadaan seperti ini Hak Kekayaan Intelektual menjadi semakin penting. Hal ini disebabkan Hak Kekayaan Intelektual merupakan hak monopoli yang dapat digunakan untuk melindungi investasi dan dapat dialihkan haknya.
Instansi yang berwenang dalam mengelola Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen. HKI)  yang berada di bawah Departemen Kehakiman dan HAM Republik Indonesia. Dan khusus untuk mengelola informasi HKI juga telah dibentuk Direktorat Teknologi Informasi di bawah Ditjen. HKI. Sekali lagi menunjukkan bahwa pengakuan HKI di Indonesia benar-benar mendapat perhatian yang serius.
Dengan adanya sebuah sistem informasi Hak Kekayaan Intelektual yang integral dan mudah diakses oleh masyarakat, diharapkan tingkat permohonan pendaftaran Hak Kekayaan Indonesia di Indonesia semakin meningkat. Sedangkan dengan penegakan hukum secara integral (dimana termasuk di dalamnya Hak Kekayaan Intelektual), pelanggaran dalam bentuk pembajakan hasil karya intelektual yang dilindungi undang-undang akan semakin berkurang. Sinergi antara keduanya, sistem informasi Hak Kekayaan Intelektual dan penegakan hukum yang integral, pada akhirnya akan membawa bangsa Indonesia kepada kehidupan yang lebih beradab, yang menghormati hasil karya cipta orang lain.
Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual
Kepentingan polisi dalam kedudukannya sebagai penyidik tindak pidana menggambarkan bahwa penegak hukum dalam konteks Criminal Justice System, merupakan pintu utama dari aparat penegak hukum lainnya. Proses penegakan hukum yang benar akan memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap masyarakat. Berdasarkan kewenangannya polisi diperbolehkan untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang dicurigai telah melakukan pelanggaran hukum pidana atau melakukan kejahatan.
Dalam perspektif kriminologi, kejahatan bukan saja suatu perbuatan yang melanggar undang-undang atau hukum pidana tetapi lebih luas lagi mencakup setiap perbuatan anti sosial dan yang merugikan masyarakat walaupun perbuatan tersebut belum atau tidak diatur oleh undang-undang atau hukum pidana. Hal tersebut menunjukkan bahwa peranan polisi dalam menegakkan hukum memiliki posisi yang sangat penting terkait dengan perannya yang berhubungan langsung dengan masyarakat maupun pelanggar hukum. Orang yang telah melakukan kejahatan tidak akan dengan sendirinya menyerahkan diri untuk diproses melalui sistem peradilan yang ada. Karena itu, harus ada suatu badan publik yang memulainya, dan itu pertama-tama dilakukan oleh polisi dengan melakukan penahanan dan penyidikan.
Kepolisian merupakan salah satu lembaga dalam sistem peradilan pidana yang diberi wewenang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap peristiwa kejahatan. Menurut pasal 1 butir 2 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), ”Penyidikan adalah serangklaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.” Sedangkan tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Hal ini sama dengan yang dijelaskan dalam pasal 1 butir 13 Undang-Undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Polisi merupakan aparat penegak hukum yang langsung berhadapan dengan masyarakat, polisi diberi ruang oleh hukum untuk mengambil berbagai tindakan yang diperlukan menurut pertimbangan sesaat pada waktu kejadian berlangsung. Berdasarkan kewenangan tersebut, polisi diperbolehkan untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang dicurigai telah melakukan tindakan kejahatan berdasarkan bukti-bukti dan aturan hukum yang telah ditetapkan. Polisi juga diberi kewenangan untuk meminta keterangan kepada setiap warga masyarakat yang mengetahui jalannya suatu peristiwa kejahatan, untuk dijadikan saksi yang diperlukan dalam proses pemeriksaan tersangka pelaku kejahatan. Sepak terjang polisi akan langsung dilihat dan dirasakan oleh masyarakat. Pada kontak langsung dengan masyarakat inilah citra polisi akan sangat ditentukan. Citra polisi yang buruk di masyarakat karena polisi kurang mampu bersikap mandiri dalam mengusut kasus kejahatan akan membawa dampak pada proses pemeriksaan pelaku kejahatan pada tahap berikutnya.
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia pada pasal 13 menyatakan bahwa “Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: 1) Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; 2) Menegakkan hukum; dan 3) Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat” . Akibat kewenangan polisi tersebut, bagi orang yang dicurigai melakukan tindakan kejahatan maka polisi akan menangkap dan menahan pelaku kejahatan.
Dalam menjalankan tugasnya, polisi tidak hanya dihadapkan dengan kejahatan biasa (konvensional) tetapi juga kejahatan ekonomi yang merugikan masyarakat. Jika pada masa dahulu, kita mengenal bentuk kejahatan yang sederhana, seperti mencuri, merampok, menipu atau bahkan membunuh. Setelah itu, pelaku akan melarikan diri atau melaporkan diri kepada polisi. Namun pada akhirnya pun kejahatan-kejahatan tersebut menunjukkan keseriusan kejahatan yang semakin meningkat. Meningkatnya keseriusan kejahatan, meningkatkan pula tindakan polisi dalam memperlakukan pelaku kejahatan. Misalnya, polisi terpaksa harus menembak terlebih dahulu terhadap pelaku kejahatan daripada menjadi korban akibat kekerasan pelaku kejahatan. Hal tersebut disebabkan semakin banyak pelaku kejahatan yang nekad melakukan perlawanan terhadap polisi.
Pada masa sekarang, bentuk kejahatan sudah berubah, di samping bentuk kejahatan konvensional, kejahatan terhadap ekonomi memiliki modus operandi yang sulit dalam pengungkapannya dan dilakukan oleh orang berpendidikan tinggi. Kejahatan dilakukan tidak lagi oleh orang miskin, para pejabat maupun pengusaha yang tidak miskin melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat. Kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari kelas sosial ekonomi tinggi tersebut menurut Sutherland merupakan suatu bentuk kejahatan yang dikenal dengan White Collar Crime yaitu orang dari kelas sosial ekonomi tinggi yang melakukan pelanggaran terhadap hukum yang dibuat untuk mengatur pekerjaannya. Karena itu, sudah menjadi kenyataan bahwa semakin maju suatu negara akan semakin banyak pula muncul bentuk kejahatan di negara tersebut. Modus operandinya pun semakin canggih melalui tehnik-tehnik yang tidak mudah dilacak, melakukan pemalsuan dokumen yang sangat rapi dengan penyalahgunaan komputer, termasuk di dalamnya kasus pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI).
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) pada hakekatnya sama halnya dengan hak kekayaan kebendaan lainnya yaitu memberikan hak kepada para pencipta atau pemiliknya untuk mendapatkan keuntungan dari investasi dari karya intelektualnya di bidang kekayaan industri dan karya cipta yang disebut Hak Cipta. Kasus pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata. Akibat pelanggaran HKI tersebut, bukan hanya negara dirugikan dan mengancam arus investasi, tetapi Indonesia bisa juga terancam terkena embargo atas produk ekspornya. Perkembangan teknologi, terutama perkembangan teknologi digital, dianggap mendukung tumbuh suburnya pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI).
Penegakkan Hukum.
Kemajuan teknologi digital selain memberikan dampak positif berupa tersedianya media untuk karya cipta yang pada akhirnya menghasilkan kualitas tampilan karya cipta yang baik dan modern. Namun, dampak negatifnya terjadi penyalahgunaan teknologi digital itu oleh pihak-pihak tertentu dengan melakukan praktek-praktek yang bertentangan dengan hukum. Pelanggaran HKI menjadi mudah karena kemajuan teknologi digital, walaupun akibatnya HKI di sektor teknologi pun menjadi korban pertama pelanggaran tersebut. Dengan menggunakan komputer, pelanggaran-pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual semakin mudah. Komputer mampu mampu meggandakan dan mencetak ditambah dengan kemampuan intenet dalam menyajikan informasi menyebabkan praktek penggandaan menjadi semakin mudah pula dilakukan.
Tidak ada jalan lain untuk mengatasi hal itu selain dengan menegakkan fungsi hukum. Sanksi terhadap pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI) selama ini belum menimbulkan efek jera bagi pelakunya sehingga tingkat pelanggarannya terus meningkat, meskipun pemerintah sudah memiliki perangkat undang-undangnya. Kendala lainnya yaitu terbatasnya aparat penegak hukum yang menangani masalah Hak Kekayaan Intelektual, ringannya putusan yang dijatuhkan oleh proses peradilan kepada pelanggar, sehingga tidak menimbulkan efek jera tadi. Selain itu, kurangnya kesadaran masyarakat untuk menghargai dan mentaati hukum di bidang HKI dan terbatasnya daya beli masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan koordinasi antar aparat penegak hukum dan instansi terkait dalam merumuskan serta menetapkan kebijakan strategis yang akan dijadikan target untuk menurunkan dan menghilangkan pelanggaran HKI, serta meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menghargai HKI orang lain. Berkurang atau hilangnya pelanggaran HKI di Indonesia, pada gilirannya dapat menarik para investor khususnya investor dari luar negeri untuk menanamkan/membuka usaha di Indonesia baik di bidang Hak Cipta maupun di bidang HKI, sehingga dapat menciptakan lapangan kerja baru yang dalam skala makro akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional.
Para investor dari luar negeri pada umumnya menempatkan perlindungan HKI sebagai prasyarat investasi utama mereka di suatu Negara. Upaya itu perlu dilakukan dengan strategi yang terkoordinir sehingga menurunkan posisi Indonesia di “priority watch list” menjadi “watch list”. Karena itu perangkat hukum sudah ada, political will dari pemerintah sudah ada, tinggal sekarang political action. Untuk itu perlu mensinergikan dan meningkatkan kembali koordinasi dan kerjasama di antara aparat yang terkait, terutama aparat di bidang hukum. Dalam upaya penegakkan hukum, tugas polisi tidak saja menyangkut kejahatan serius dengan kekerasan. Polisi juga diwajibkan menegakkan hukum dalam kejahatan-kejahatan ringan sifatnya. Termasuk juga kejahatan ekonomi yang juga merugikan masyarakat, sehingga perlu mendapatkan penanganan yang serius pula. Karena itu berdasarkan kewenangannya, polisi sebagai alat negara penegak hukum mempunyai kewenangan mempergunakan upaya paksa untuk memanggil, menggeledah, menangkap dan menahan tersangka pelaku kejahatan.
Secara yuridis formal, para pelaku kejahatan yang dinyatakan sebagai tersangka tersebut sebenarnya masih dalam proses penyidikan yang berlangsung di pihak kepolisian dan belum mendapat suatu putusan tetap dari pengadilan. Jika mendasarkan pada asas praduga tak bersalah, para pelaku kejahatan harus dianggap tidak bersalah, sebelum kesalahan yang diperbuat oleh para pelaku dinyatakan dan dibuktikan dalam sidang pengadilan.
Berdasarkan pemahaman bahwa kalau orang bicara tentang pelaku kejahatan maka konotasi orang akan menunjuk orang miskin dan tidak berpendidikan yang merupakan pelaku kejahatan. Hasil penelitian yang dilakukan Sutherland mengatakan bahwa pengusaha yang tidak miskin juga melakukan tindakan yang merugikan masyarakat. Kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari kelas sosial ekonomi tinggi tersebut menurut Sutherland merupakan suatu bentuk kejahatan yang dikenal dengan White Collar Crime yaitu orang dari kelas sosial ekonomi tinggi yang melakukan pelanggaran terhadap hukum yang dibuat untuk mengatur pekerjaannya.
Demikian juga dalam hal pemberian sanksi hukum kepada para pelaku white collar crime pada umumnya relatif ringan, padahal kerugian yang yang diakibatkan oleh para pelanggar hukum ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan kejahatan terhadap harta benda yang konvensional.
Penegakan hukum terhadap pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual hanya mampu menyelesaikan masalah yang timbul dipermukaan saja, tetapi lebih daripada itu diperlukan upaya-upaya untuk menyelesaikan akar permasalahan yang timbul di bawah permukaan melalui tindakan pre-emtif dan preventif sebagai sebuah perlindungan HKI secara komprehensif dengan melibatkan semua instansi pemerintah yang bertanggung jawab. Karena itu penegakan hukum hanya merupakan upaya penyelesaian sementara dari masalah yang timbul di permukaan. Sementara itu harus dipahami bahwa terdapat berbagai masalah yang lebih mendasar di bawah permukaan yang harus mampu diselesaikan dengan cerdas dan penuh kebijakan.
Penegakan hukum bukan satu-satunya upaya yang ampuh dalam memberikan perlindungan HKI di Indonesia, karena penegakan hukum hanya bagian dari sebuah proses perlindungan HKI. Penegakkan hukum hanya merupakan sub-sistem yang bersifat represif dari sebuah sistem perlindungan HKI. Sub-sistem lain yang sama pentingnya adalah sub-sistem pre-emtif dengan meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat termasuk aparat pemerintah dan penegak hukum, ketersediaan dan kemampuan daya beli masyarakat. Di samping itu juga upaya preventif menjadi bagian dari upaya pencegahan dalam rangka mempersempit peluang terjadinya proses pelanggaran, seperti tidak memberikan ijin kepada toko atau kaki lima yang telah melanggar atau mencabut ijin pabrik yang pernah melanggar.
Penegakan hukum yang kuat dan konsisten sangat penting dalam memberikan perlindungan terhadap Hak Kekayaan Intelektual (HKI), namun mencegah terhadap terjadinya pelanggaran menjadi lebih penting lagi untuk meningkatkan kualitas warga negara dan peradaban bangsa Indonesia, karena itu prlu dilakukan introspeksi yang komprehensif terhadap kinerja pemerintah dalam memberikan perlindungan atas kekayaan intektual. Sesuai dengan prinsipnya, bahwa hukum hanyalah berfungsi sebagai media untuk menjaga kepentingan hukum dalam masyarakat, maka perkembangan teknologi digital yang terjadi di dunia industri harus diberikan apresiasi yang positif sebagai konsekuens kemajuan di bidang teknologi yang dicapai oleh manusia. Agar perkembangan tersebut tidak menimbulkan masalah baru maka tetap harus dibarengi dengan tersedianya perangkat hukum yang memadai serta dapat menjamin adanya kepastian hak dan kewajiban serta pengaturan tentang larangan dan kewajiban yang harus dipatuhi.

Penegakan hukum bidang hak atas kekayaan intelektual tidak berdiri sendiri, tetapi sangat tergantung pada proses penegakan hukum secara umum, oleh karena itu kalau sistem penegakan hukum secara umum baik maka penegakan hukum HAKI juga akan baik. Aparat penegak hukum sering melakukan razia dan penggerebekan terhadap pusat-pusat penjualan barang bajakan, penggerebekan terhadap pabrik pangganda optical disc serta menyita barang selundupan hasil kejahatan terhadap produk HaKI. Bahkan banyak kasus kejahatan terhadap terhadap produk HaKI yang sudah sampai ke pengadilan, bahkan pelakunya sudah dihukum. Selama ini polisi sudah bersusah payah menyeret pelakunya ke pengadilan dengan mencari bukti-bukti pendukung kejahatan. Tapi terhadap beberapa kasus setelah sampai di pengadilan, hakim menjatuhkan vonis percobaan. Hakim hendaknya harus berani menjatuhkan hukuman maksimal bila sudah ada bukti yang kuat terjadinya pelanggaran.


Perlindungan Hukum Terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual (Kejahatan Merek)

Begitu banyak terjadi pelanggaran Hak Atas Kekayaan Intelektual, khususnya di bidang Merek di Indonesia. Kondisi ini cukup memprihatinkan, dimana Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Akhir Putaran Uruguay dengan UU No. 7 tahun 1994, yang salah satunya berisi tentang aspek-aspek perlindungan di bidang Hak Atas kekayaan Intelektual. Dalam kaitan ini sejauhmana Indonesia telah mengantisipasi berlakunya persetujuan tersebut pada tanggal 1 Januari tahun 2000. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui perlindungan hukum yang diberikan oleh UU No. 19 tahun 1992 dan bagaimana keterkaitannya dengan UU No. 7 tahun 1994 serta untuk mengetahui aspek-aspek penegakan hukum terhadap kejahatan Merek. Adapun Metodologi Penelitian yang digunakan meliputi : obyek penelitian dibatasi pada UU No. 19 tahun 1992 dan bagaimanakah keterkaitannya dengan UU No. 7 tahun 1994 yang berkaitan dengan TRIPs serta bagaimanakah penegakan hukum dilakukan dalam upaya penanggulangan kejahatan Merek. Berkaitan dengan obyek yang hendak diteliti mencakup bidang normatif dan empiris. Adapun jenis data meliputi data primer dan data sekunder. Sedangkan teknik pengumpulan data ditempuh melalui studi dokumen, wawancara dan pengamatan. Wilayah penelitian di DKI Jakarta dan Jawa Barat. Teknik penyajian data dilakukan dengan teknik kualitatif dan analisa datanya dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan teknik secara taksonomi. Hasil Penelitian sebagai berikut :
a.    UU No. 19 tahun 1992 telah memberikan kepastian dan perlindungan hukum balk kepada pemilik maupun kepada konsumen, meskipun dalam pelaksanaannya masih terdapat beberapa kendala dalam penerapannya.
b.    Konsekwensi diratifikasinya persetujuan akhir putaran Uruguay yang berkaitan dengan TRIPs oleh UU No. 7 tahun 1994, berupa akibat hukum eksternal yang berarti bersedia menerima segala kewajiban yang dibebankan oleh persetujuan internasional, sedangkan akibat hukum internal adalah kewajiban dalam arti tidak terbatas pada usaha untuk merubah hukum nasionalnya agar sesuai dengan ketentuan TRIPs, namun juga harus disertai jaminan bahwa hukum nasional itu nantinya dapat berlaku efektif.
c.    c.Tidak dapat dipungkiri pembajakan produk pakaian jadi Merek terkenal, seperti Hammer, Guess, Espril, D&G, Country Fiesta, Osella, Levis, begitu bebasnya dipasarkan di Blok M, Tanah Abang Jakarta dan Pasar Baru Bandung, tanpa adanya tindakan dari aparat penegak hukum.Diakui ada beberapa perusahaan yang telah ditindak, tetapi masih terbatas pada perusahaan kelas ten ( pengusaha konveksi ) yang tidak mempunyai status ekonomi politik yang kuat. Kesimpulan :
o   Pemerintah Cq Dirjen HCPM belum memiliki pengalaman dan keseriusan dalam melakukan pembinaan Merek, hal ini masih terbukti setelah 5 tahun berlakunya UU No. 19 tahun 1992 masih melakukan pembenahan menyangkut syarat-syarat pendaftaran Merek, masih belum dibentuknya komisi banding, belum adanya PP menyangkut persyaratan dan tata cara permintaan pencatatan lisensi.
o   2.Secara jujur harus diakui masih berat upaya pemerintah dalam menghadapi berlakunya persetujuan TRIPs di era perdagangan bebas, khususnya menyangkut aspek struktural maupun budaya hukum yang masih cukup memprihatinkan.
o   3. Kejahatan Merek sebagai salah satu jenis kejahatan di bidang ekonomi, memerlukan strategi khusus dalam penegakannya, berbeda dengan penegakan hukum terhadap kejahatan lainnya. Untuk itu diperlukan pendekatan melalui politik kriminal.
Terkait disini disamping masalah hukum ( pidana, perdata, administrasi ), juga masalah etik dan moral. Saran-Saran:
1.    Perlu adanya usaha untuk menyebarluaskan pemahaman tentang arti, fungsi dan peranan HAKI, khususnya di bidang Merek balk kepada masyarakat untuk mengetahui tentang hak dan kewajibannya selaku konsumen produk, kepada para petugas instansi terkait, juga kepada aparat penegak hukum untuk lebih meningkatkan profesionalismenya.
2.    Perlunya pembenahan administrasi yang jauh dari birokrasi yang berbelit disamping adanya tenaga yang handal.
3.    Perlu adanya kemauan politik dari pemerintah dan segenap pihak yang terkait untuk secara lebih sungguh-sungguh memberantas kejahatan Merek. Untuk itu peningkatan koordinasi antar lembaga ( Dirjen HCPM, Dirjen Bea Cukai, Dirjen Imigrasi dan aparat penegak hukum ) merupakan solusi terbaik.

Sumber :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar