Selasa, 03 Januari 2012

Kisah Kusam Sepak Bola Indonesia



TAHUN 2011, persepakbolaan Indonesia dihadapkan pada dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Sisi pertama adalah perjuangan memperbaiki prestasi. Hasilnya cukup bagus, gelaran Piala AFF dan prospek emas dari timnas U-23 di ajang SEA Games cukup memuaskan.

Tapi di sisi yang lain, kisruh PSSI tak bisa terelakan. Tepatnya pada medio April 2011, kisruh yang melanda PSSI tak bisa terurai meskipun di bulan ini dilakukan pembekuan Komite Eksekutif oleh FIFA dan pembentukan Komite Normalisasi.

Setelah sekitar empat bulan terombang-ambing dalam pusaran konflik, FIFA akhirnya turun tangan langsung menengahi kisruh di tubuh otoritas sepakbola nasional. Di awal bulan ini, FIFA memutuskan mengambil alih Komite Eksekutif dan pada saat bersamaan membentuk Komite Normalisasi (KN), dengan diketuai Agum Gumelar.

Tugas KN adalah: (1) menjalankan pemilihan ketua umum dan wakil ketua umum serta Exco PSSI, (2) mengontrol liga di bawah PSSI termasuk mengontrol Liga Primer Indonesia (LPI) atau menghentikannya serta (3) menjalankan fungsi keseharian PSSI, sebagaimana mestinya termasuk melakukan pembinaan dan lainnya.

Namun pembentukan KN tak serta merta membuat kisruh di tubuh PSSI mereda. Keputusan FIFA yang tetap melarang empat nama (George Toisutta, Arifin Panigoro, Nirwan D Bakrie serta Nurdin Halid) kembali maju dalam pencalonan ketua umum PSSI periode berikutnya menuai pro dan kontra.

Pendukung GT dan AP bersikeras untuk memajukan jagoannya sebagai calon ketua umum yang baru. Faktanya, bukan cuma dua nama itu saja yang maju karena dalam laporannya, Komite Pemilihan memastikan ada pemilik suara yang masih mengajukan nama AP, GT dan ND serta NH. Komite Normalisasi kemudian memgambil keputusan tegas untuk tetap melarang keempat nama tersebut maju dalam pencalonan, yang berujung pada munculnya masalah lain. Merasa kecewa jagoannya tak bisa maju, sempat muncul isu akan ada kongres tandingan, selain itu permintaan agar Agum Gumelar mundur pun sempat terdengar.

Pada pertengahan bulan, PSSI juga sempat menggelar kongres "dadakan" di Hotel Sultan. Pertemuan yang awalnya cuma dijadwalkan sebagai ajang diskusi tersebut kemudian menjadi kongres untuk memilih Komite Pemilihan dan Komite Banding.

Menjelang akhir April, Komite Normalisasi akhirnya mengumumkan 19 nama yang dianggap berhak maju dalam pencalonan ketua umum yang baru. Dalam daftar tersebut tak tercantum nama AP, GT, NDB serta NH.

Terus bergulir

Pada Mei, kisruh PSSI terus mewarnai persepakbolaan Indonesia. Komite Normalisasi dibentuk untuk mengawal pelaksanaan Kongres PSSI untuk memilih ketua umum, wakil ketua umum, dan Komite Eksekutif periode 2011-2015 pada 20 Mei.

Kongres tersebut kemudian berjalan tanpa hasil setelah berlangsung selama enam jam. Suasana menjadi ricuh setelah peserta kongres, terutama pendukung George Toisutta dan Arifin Panigoro mempertanyakan soal penolakan terhadap GT-AP walaupun sempat diloloskan oleh Komite Banding.

Sebagai penyelesaiannya, Ketua Komite Normalisasi Agum Gumelar akhirnya memutuskan untuk mengakhiri sidang tanpa hasil sekitar pukul 20.50 WIB. "Dengan mengucapkan Alhamdulillah dan meminta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia, sidang ditutup," ujar Agum sambil mengetuk palu.

Dualisme kompetisi

Sayangnya seyelah Nurdin Halid mundur, dan Djohar Arifin naik tahta di kursi ketua umum, kisruh tak lantas terhapus. Sebaliknya kisah kusam terus berlanjut. Yang lebih parah, di era pengurus baru, dualisme kompetisi ternyata masih tetap terjadi.

Uniknya Indonesia Primer League (IPL) bentukan PSSI era Djohar ternyata kalah mentereng dibanding, Indonesia Super League (ISL) produk PT Liga Indonesia yang sudah ada sejak jaman Nurdin Halid dulu.

Sikap kesewenang-wenangan PSSI dengan mengabaikan kongres di Bali menjadi penyebab, klub-klub tetap berbalik badan menuju ISL. Bahkan kompetisi ISL yang dianggap PSSI sebagai liga Ilegal ternyata bisa berjalan mulus. Pertandingan bisa digelar di setiap daerah.

Sebaliknya perjalanan IPL terus menemui batu krikil. Amburadulnya jadwal pertandingan yang membuat kompetisi tak kunjung digelar. Kepercayaan makin turun. Hingga akhirnya FIFA memberi ancaman, jika hingga Maret dualisme kompetisi atau tegasnya kisruh tak kunjung terselesaikan, sanksi lah yang akan didapat sepak bola Indonesia.

Hingga penghujung 2011, kisah kusam sepak bola Indonesia tak juga berakhir. Bukan tidak mungkin hingga memasuki 2012 benang kusut tak bisa terurai.

 sumber : klik disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar