Pengakuan Hak Kekayaan Intelektual
(HKI) di Indonesia
Keberadaan Hak Kekayaan
Intelektual (HKI) dalam hubungan antar manusia dan antar negara merupakan
sesuatu yang tidak dapat dipungkiri. HKI juga merupakan sesuatu yang given
dan inheren dalam sebuah masyarakat industri atau yang sedang mengarah ke
sana. Keberadaannya senantiasa mengikuti dinamika perkembangan masyarakat itu
sendiri. Begitu pula halnya dengan masyarakat dan bangsa Indonesia yang mau
tidak mau bersinggungan dan terlibat langsung dengan masalah HKI.
Secara umum Hak Kekayaan Intelektual dapat terbagi dalam
dua kategori yaitu: Hak Cipta dan Hak Kekayaan Industri. Sedangkan Hak
Kekayaan Industri meliputi Merek, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit
Terpadu, Rahasia Dagang dan Varietas Tanaman.
Sebagai konsekuensi dari keikutsertaan Indonesia sebagai
anggota WTO (World Trade Organization ) mengharuskan Indonesia menyesuaikan
segala peraturan perundangannya di bidang Hak Kekayaan Intelektual dengan
standar TRIP's (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) yang
dimulai sejak tahun 1997 dan diperbaharui kemudian pada tahun 2000 dan tahun
2001. Hal ini juga akibat dari telah diratifikasinya konvensi-konvensi
internasional di bidang Hak Kekayaan Intelektual dan juga telah menyesuaikan
dengan ketentuan-ketentuan yang diharuskan yaitu Undang-undang tentang Hak
Cipta, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Rahasia Dagang,
Paten dan Merek.
Permasalahan mengenai Hak Kekayaan Intelektual akan
menyentuh berbagai aspek seperti aspek teknologi, industri, sosial, budaya,
dan berbagai aspek lainnya. Namun aspek terpenting jika dihubungkan dengan
upaya perlindungan bagi karya intelektual adalah aspek hukum. Hukum
diharapkan mampu mengatasi berbagai permasalahan yang timbul berkaitan dengan
Hak Kekayaan Intelektual tersebut. Hukum harus dapat memberikan perlindungan
bagi karya intelektual, sehingga mampu mengembangkan daya kreasi masyarakat
yang akhirnya bermuara pada tujuan berhasilnya perlindungan Hak Kekayaan
Intelektual.
Aspek teknologi juga merupakan faktor yang sangat dominan
dalam perkembangan dan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual. Perkembangan
teknologi informasi yang sangat cepat saat ini telah menyebabkan dunia terasa
semakin sempit, informasi dapat dengan mudah dan cepat tersebar ke seluruh
pelosok dunia. Pada keadaan seperti ini Hak Kekayaan Intelektual menjadi
semakin penting. Hal ini disebabkan Hak Kekayaan Intelektual merupakan hak
monopoli yang dapat digunakan untuk melindungi investasi dan dapat dialihkan
haknya.
Instansi yang berwenang dalam mengelola Hak Kekayaan Intelektual
di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen.
HKI) yang berada di bawah Departemen Kehakiman dan HAM Republik
Indonesia. Dan khusus untuk mengelola informasi HKI juga telah dibentuk
Direktorat Teknologi Informasi di bawah Ditjen. HKI. Sekali lagi menunjukkan
bahwa pengakuan HKI di Indonesia benar-benar mendapat perhatian yang serius.
Dengan adanya sebuah sistem informasi Hak Kekayaan
Intelektual yang integral dan mudah diakses oleh masyarakat, diharapkan
tingkat permohonan pendaftaran Hak Kekayaan Indonesia di Indonesia semakin
meningkat. Sedangkan dengan penegakan hukum secara integral (dimana termasuk
di dalamnya Hak Kekayaan Intelektual), pelanggaran dalam bentuk pembajakan
hasil karya intelektual yang dilindungi undang-undang akan semakin berkurang.
Sinergi antara keduanya, sistem informasi Hak Kekayaan Intelektual dan
penegakan hukum yang integral, pada akhirnya akan membawa bangsa Indonesia
kepada kehidupan yang lebih beradab, yang menghormati hasil karya cipta orang
lain.
|
Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual
Kepentingan
polisi dalam kedudukannya sebagai penyidik tindak pidana menggambarkan bahwa
penegak hukum dalam konteks Criminal Justice System, merupakan pintu utama dari
aparat penegak hukum lainnya. Proses penegakan hukum yang benar akan memberikan
perlindungan dan kepastian hukum terhadap masyarakat. Berdasarkan kewenangannya
polisi diperbolehkan untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang
yang dicurigai telah melakukan pelanggaran hukum pidana atau melakukan
kejahatan.
Dalam
perspektif kriminologi, kejahatan bukan saja suatu perbuatan yang melanggar
undang-undang atau hukum pidana tetapi lebih luas lagi mencakup setiap
perbuatan anti sosial dan yang merugikan masyarakat walaupun perbuatan tersebut
belum atau tidak diatur oleh undang-undang atau hukum pidana. Hal tersebut
menunjukkan bahwa peranan polisi dalam menegakkan hukum memiliki posisi yang
sangat penting terkait dengan perannya yang berhubungan langsung dengan
masyarakat maupun pelanggar hukum. Orang yang telah melakukan kejahatan tidak
akan dengan sendirinya menyerahkan diri untuk diproses melalui sistem peradilan
yang ada. Karena itu, harus ada suatu badan publik yang memulainya, dan itu
pertama-tama dilakukan oleh polisi dengan melakukan penahanan dan penyidikan.
Kepolisian
merupakan salah satu lembaga dalam sistem peradilan pidana yang diberi wewenang
untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap peristiwa kejahatan.
Menurut pasal 1 butir 2 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana),
”Penyidikan adalah serangklaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang
terjadi dan guna menemukan tersangkanya.” Sedangkan tersangka adalah seorang
yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut
diduga sebagai pelaku tindak pidana. Hal ini sama dengan yang dijelaskan dalam
pasal 1 butir 13 Undang-Undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia. Polisi merupakan aparat penegak hukum yang langsung
berhadapan dengan masyarakat, polisi diberi ruang oleh hukum untuk mengambil
berbagai tindakan yang diperlukan menurut pertimbangan sesaat pada waktu
kejadian berlangsung. Berdasarkan kewenangan tersebut, polisi diperbolehkan
untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang dicurigai telah
melakukan tindakan kejahatan berdasarkan bukti-bukti dan aturan hukum yang
telah ditetapkan. Polisi juga diberi kewenangan untuk meminta keterangan kepada
setiap warga masyarakat yang mengetahui jalannya suatu peristiwa kejahatan,
untuk dijadikan saksi yang diperlukan dalam proses pemeriksaan tersangka pelaku
kejahatan. Sepak terjang polisi akan langsung dilihat dan dirasakan oleh
masyarakat. Pada kontak langsung dengan masyarakat inilah citra polisi akan
sangat ditentukan. Citra polisi yang buruk di masyarakat karena polisi kurang
mampu bersikap mandiri dalam mengusut kasus kejahatan akan membawa dampak pada
proses pemeriksaan pelaku kejahatan pada tahap berikutnya.
Undang-Undang
Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia pada pasal 13
menyatakan bahwa “Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: 1)
Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; 2) Menegakkan hukum; dan 3)
Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat” . Akibat
kewenangan polisi tersebut, bagi orang yang dicurigai melakukan tindakan
kejahatan maka polisi akan menangkap dan menahan pelaku kejahatan.
Dalam
menjalankan tugasnya, polisi tidak hanya dihadapkan dengan kejahatan biasa
(konvensional) tetapi juga kejahatan ekonomi yang merugikan masyarakat. Jika
pada masa dahulu, kita mengenal bentuk kejahatan yang sederhana, seperti
mencuri, merampok, menipu atau bahkan membunuh. Setelah itu, pelaku akan melarikan
diri atau melaporkan diri kepada polisi. Namun pada akhirnya pun
kejahatan-kejahatan tersebut menunjukkan keseriusan kejahatan yang semakin
meningkat. Meningkatnya keseriusan kejahatan, meningkatkan pula tindakan polisi
dalam memperlakukan pelaku kejahatan. Misalnya, polisi terpaksa harus menembak
terlebih dahulu terhadap pelaku kejahatan daripada menjadi korban akibat
kekerasan pelaku kejahatan. Hal tersebut disebabkan semakin banyak pelaku
kejahatan yang nekad melakukan perlawanan terhadap polisi.
Pada masa
sekarang, bentuk kejahatan sudah berubah, di samping bentuk kejahatan
konvensional, kejahatan terhadap ekonomi memiliki modus operandi yang sulit
dalam pengungkapannya dan dilakukan oleh orang berpendidikan tinggi. Kejahatan
dilakukan tidak lagi oleh orang miskin, para pejabat maupun pengusaha yang
tidak miskin melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat. Kejahatan yang
dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari kelas sosial ekonomi tinggi
tersebut menurut Sutherland merupakan suatu bentuk kejahatan yang dikenal
dengan White Collar Crime yaitu orang dari kelas sosial ekonomi tinggi yang
melakukan pelanggaran terhadap hukum yang dibuat untuk mengatur pekerjaannya.
Karena itu, sudah menjadi kenyataan bahwa semakin maju suatu negara akan
semakin banyak pula muncul bentuk kejahatan di negara tersebut. Modus
operandinya pun semakin canggih melalui tehnik-tehnik yang tidak mudah dilacak,
melakukan pemalsuan dokumen yang sangat rapi dengan penyalahgunaan komputer,
termasuk di dalamnya kasus pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI).
Hak Kekayaan
Intelektual (HKI) pada hakekatnya sama halnya dengan hak kekayaan kebendaan
lainnya yaitu memberikan hak kepada para pencipta atau pemiliknya untuk
mendapatkan keuntungan dari investasi dari karya intelektualnya di bidang
kekayaan industri dan karya cipta yang disebut Hak Cipta. Kasus pelanggaran Hak
Kekayaan Intelektual (HKI) di Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata.
Akibat pelanggaran HKI tersebut, bukan hanya negara dirugikan dan mengancam
arus investasi, tetapi Indonesia bisa juga terancam terkena embargo atas produk
ekspornya. Perkembangan teknologi, terutama perkembangan teknologi digital,
dianggap mendukung tumbuh suburnya pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI).
Penegakkan Hukum.
Kemajuan teknologi digital selain memberikan dampak positif berupa tersedianya media untuk karya cipta yang pada akhirnya menghasilkan kualitas tampilan karya cipta yang baik dan modern. Namun, dampak negatifnya terjadi penyalahgunaan teknologi digital itu oleh pihak-pihak tertentu dengan melakukan praktek-praktek yang bertentangan dengan hukum. Pelanggaran HKI menjadi mudah karena kemajuan teknologi digital, walaupun akibatnya HKI di sektor teknologi pun menjadi korban pertama pelanggaran tersebut. Dengan menggunakan komputer, pelanggaran-pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual semakin mudah. Komputer mampu mampu meggandakan dan mencetak ditambah dengan kemampuan intenet dalam menyajikan informasi menyebabkan praktek penggandaan menjadi semakin mudah pula dilakukan.
Kemajuan teknologi digital selain memberikan dampak positif berupa tersedianya media untuk karya cipta yang pada akhirnya menghasilkan kualitas tampilan karya cipta yang baik dan modern. Namun, dampak negatifnya terjadi penyalahgunaan teknologi digital itu oleh pihak-pihak tertentu dengan melakukan praktek-praktek yang bertentangan dengan hukum. Pelanggaran HKI menjadi mudah karena kemajuan teknologi digital, walaupun akibatnya HKI di sektor teknologi pun menjadi korban pertama pelanggaran tersebut. Dengan menggunakan komputer, pelanggaran-pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual semakin mudah. Komputer mampu mampu meggandakan dan mencetak ditambah dengan kemampuan intenet dalam menyajikan informasi menyebabkan praktek penggandaan menjadi semakin mudah pula dilakukan.
Tidak ada jalan
lain untuk mengatasi hal itu selain dengan menegakkan fungsi hukum. Sanksi
terhadap pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI) selama ini belum
menimbulkan efek jera bagi pelakunya sehingga tingkat pelanggarannya terus
meningkat, meskipun pemerintah sudah memiliki perangkat undang-undangnya.
Kendala lainnya yaitu terbatasnya aparat penegak hukum yang menangani masalah
Hak Kekayaan Intelektual, ringannya putusan yang dijatuhkan oleh proses
peradilan kepada pelanggar, sehingga tidak menimbulkan efek jera tadi. Selain
itu, kurangnya kesadaran masyarakat untuk menghargai dan mentaati hukum di
bidang HKI dan terbatasnya daya beli masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan
koordinasi antar aparat penegak hukum dan instansi terkait dalam merumuskan
serta menetapkan kebijakan strategis yang akan dijadikan target untuk
menurunkan dan menghilangkan pelanggaran HKI, serta meningkatkan kesadaran
masyarakat untuk menghargai HKI orang lain. Berkurang atau hilangnya
pelanggaran HKI di Indonesia, pada gilirannya dapat menarik para investor
khususnya investor dari luar negeri untuk menanamkan/membuka usaha di Indonesia
baik di bidang Hak Cipta maupun di bidang HKI, sehingga dapat menciptakan
lapangan kerja baru yang dalam skala makro akan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi nasional.
Para investor
dari luar negeri pada umumnya menempatkan perlindungan HKI sebagai prasyarat
investasi utama mereka di suatu Negara. Upaya itu perlu dilakukan dengan
strategi yang terkoordinir sehingga menurunkan posisi Indonesia di “priority
watch list” menjadi “watch list”. Karena itu perangkat hukum sudah ada,
political will dari pemerintah sudah ada, tinggal sekarang political action.
Untuk itu perlu mensinergikan dan meningkatkan kembali koordinasi dan kerjasama
di antara aparat yang terkait, terutama aparat di bidang hukum. Dalam upaya
penegakkan hukum, tugas polisi tidak saja menyangkut kejahatan serius dengan
kekerasan. Polisi juga diwajibkan menegakkan hukum dalam kejahatan-kejahatan
ringan sifatnya. Termasuk juga kejahatan ekonomi yang juga merugikan
masyarakat, sehingga perlu mendapatkan penanganan yang serius pula. Karena itu
berdasarkan kewenangannya, polisi sebagai alat negara penegak hukum mempunyai
kewenangan mempergunakan upaya paksa untuk memanggil, menggeledah, menangkap
dan menahan tersangka pelaku kejahatan.
Secara yuridis
formal, para pelaku kejahatan yang dinyatakan sebagai tersangka tersebut
sebenarnya masih dalam proses penyidikan yang berlangsung di pihak kepolisian
dan belum mendapat suatu putusan tetap dari pengadilan. Jika mendasarkan pada
asas praduga tak bersalah, para pelaku kejahatan harus dianggap tidak bersalah,
sebelum kesalahan yang diperbuat oleh para pelaku dinyatakan dan dibuktikan
dalam sidang pengadilan.
Berdasarkan pemahaman bahwa kalau orang bicara tentang pelaku kejahatan maka konotasi orang akan menunjuk orang miskin dan tidak berpendidikan yang merupakan pelaku kejahatan. Hasil penelitian yang dilakukan Sutherland mengatakan bahwa pengusaha yang tidak miskin juga melakukan tindakan yang merugikan masyarakat. Kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari kelas sosial ekonomi tinggi tersebut menurut Sutherland merupakan suatu bentuk kejahatan yang dikenal dengan White Collar Crime yaitu orang dari kelas sosial ekonomi tinggi yang melakukan pelanggaran terhadap hukum yang dibuat untuk mengatur pekerjaannya.
Demikian juga dalam hal pemberian sanksi hukum kepada para pelaku white collar crime pada umumnya relatif ringan, padahal kerugian yang yang diakibatkan oleh para pelanggar hukum ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan kejahatan terhadap harta benda yang konvensional.
Berdasarkan pemahaman bahwa kalau orang bicara tentang pelaku kejahatan maka konotasi orang akan menunjuk orang miskin dan tidak berpendidikan yang merupakan pelaku kejahatan. Hasil penelitian yang dilakukan Sutherland mengatakan bahwa pengusaha yang tidak miskin juga melakukan tindakan yang merugikan masyarakat. Kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari kelas sosial ekonomi tinggi tersebut menurut Sutherland merupakan suatu bentuk kejahatan yang dikenal dengan White Collar Crime yaitu orang dari kelas sosial ekonomi tinggi yang melakukan pelanggaran terhadap hukum yang dibuat untuk mengatur pekerjaannya.
Demikian juga dalam hal pemberian sanksi hukum kepada para pelaku white collar crime pada umumnya relatif ringan, padahal kerugian yang yang diakibatkan oleh para pelanggar hukum ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan kejahatan terhadap harta benda yang konvensional.
Penegakan hukum
terhadap pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual hanya mampu menyelesaikan masalah
yang timbul dipermukaan saja, tetapi lebih daripada itu diperlukan upaya-upaya
untuk menyelesaikan akar permasalahan yang timbul di bawah permukaan melalui
tindakan pre-emtif dan preventif sebagai sebuah perlindungan HKI secara
komprehensif dengan melibatkan semua instansi pemerintah yang bertanggung
jawab. Karena itu penegakan hukum hanya merupakan upaya penyelesaian sementara
dari masalah yang timbul di permukaan. Sementara itu harus dipahami bahwa
terdapat berbagai masalah yang lebih mendasar di bawah permukaan yang harus
mampu diselesaikan dengan cerdas dan penuh kebijakan.
Penegakan hukum bukan satu-satunya upaya yang ampuh dalam memberikan perlindungan HKI di Indonesia, karena penegakan hukum hanya bagian dari sebuah proses perlindungan HKI. Penegakkan hukum hanya merupakan sub-sistem yang bersifat represif dari sebuah sistem perlindungan HKI. Sub-sistem lain yang sama pentingnya adalah sub-sistem pre-emtif dengan meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat termasuk aparat pemerintah dan penegak hukum, ketersediaan dan kemampuan daya beli masyarakat. Di samping itu juga upaya preventif menjadi bagian dari upaya pencegahan dalam rangka mempersempit peluang terjadinya proses pelanggaran, seperti tidak memberikan ijin kepada toko atau kaki lima yang telah melanggar atau mencabut ijin pabrik yang pernah melanggar.
Penegakan hukum bukan satu-satunya upaya yang ampuh dalam memberikan perlindungan HKI di Indonesia, karena penegakan hukum hanya bagian dari sebuah proses perlindungan HKI. Penegakkan hukum hanya merupakan sub-sistem yang bersifat represif dari sebuah sistem perlindungan HKI. Sub-sistem lain yang sama pentingnya adalah sub-sistem pre-emtif dengan meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat termasuk aparat pemerintah dan penegak hukum, ketersediaan dan kemampuan daya beli masyarakat. Di samping itu juga upaya preventif menjadi bagian dari upaya pencegahan dalam rangka mempersempit peluang terjadinya proses pelanggaran, seperti tidak memberikan ijin kepada toko atau kaki lima yang telah melanggar atau mencabut ijin pabrik yang pernah melanggar.
Penegakan hukum
yang kuat dan konsisten sangat penting dalam memberikan perlindungan terhadap
Hak Kekayaan Intelektual (HKI), namun mencegah terhadap terjadinya pelanggaran
menjadi lebih penting lagi untuk meningkatkan kualitas warga negara dan
peradaban bangsa Indonesia, karena itu prlu dilakukan introspeksi yang
komprehensif terhadap kinerja pemerintah dalam memberikan perlindungan atas
kekayaan intektual. Sesuai dengan prinsipnya, bahwa hukum hanyalah berfungsi
sebagai media untuk menjaga kepentingan hukum dalam masyarakat, maka
perkembangan teknologi digital yang terjadi di dunia industri harus diberikan
apresiasi yang positif sebagai konsekuens kemajuan di bidang teknologi yang
dicapai oleh manusia. Agar perkembangan tersebut tidak menimbulkan masalah baru
maka tetap harus dibarengi dengan tersedianya perangkat hukum yang memadai
serta dapat menjamin adanya kepastian hak dan kewajiban serta pengaturan
tentang larangan dan kewajiban yang harus dipatuhi.
Penegakan hukum bidang hak atas kekayaan intelektual tidak berdiri sendiri, tetapi sangat tergantung pada proses penegakan hukum secara umum, oleh karena itu kalau sistem penegakan hukum secara umum baik maka penegakan hukum HAKI juga akan baik. Aparat penegak hukum sering melakukan razia dan penggerebekan terhadap pusat-pusat penjualan barang bajakan, penggerebekan terhadap pabrik pangganda optical disc serta menyita barang selundupan hasil kejahatan terhadap produk HaKI. Bahkan banyak kasus kejahatan terhadap terhadap produk HaKI yang sudah sampai ke pengadilan, bahkan pelakunya sudah dihukum. Selama ini polisi sudah bersusah payah menyeret pelakunya ke pengadilan dengan mencari bukti-bukti pendukung kejahatan. Tapi terhadap beberapa kasus setelah sampai di pengadilan, hakim menjatuhkan vonis percobaan. Hakim hendaknya harus berani menjatuhkan hukuman maksimal bila sudah ada bukti yang kuat terjadinya pelanggaran.
Perlindungan Hukum Terhadap Hak Atas Kekayaan
Intelektual (Kejahatan Merek)
Begitu
banyak terjadi pelanggaran Hak Atas Kekayaan Intelektual, khususnya di bidang Merek
di Indonesia. Kondisi ini cukup memprihatinkan, dimana Indonesia telah
meratifikasi Persetujuan Akhir Putaran Uruguay dengan UU No. 7 tahun 1994, yang
salah satunya berisi tentang aspek-aspek perlindungan di bidang Hak Atas
kekayaan Intelektual. Dalam kaitan ini sejauhmana Indonesia telah
mengantisipasi berlakunya persetujuan tersebut pada tanggal 1 Januari tahun
2000. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui perlindungan hukum yang
diberikan oleh UU No. 19 tahun 1992 dan bagaimana keterkaitannya dengan UU No.
7 tahun 1994 serta untuk mengetahui aspek-aspek penegakan hukum terhadap
kejahatan Merek. Adapun Metodologi Penelitian yang digunakan meliputi : obyek
penelitian dibatasi pada UU No. 19 tahun 1992 dan bagaimanakah keterkaitannya
dengan UU No. 7 tahun 1994 yang berkaitan dengan TRIPs serta bagaimanakah
penegakan hukum dilakukan dalam upaya penanggulangan kejahatan Merek. Berkaitan
dengan obyek yang hendak diteliti mencakup bidang normatif dan empiris. Adapun
jenis data meliputi data primer dan data sekunder. Sedangkan teknik pengumpulan
data ditempuh melalui studi dokumen, wawancara dan pengamatan. Wilayah
penelitian di DKI Jakarta dan Jawa Barat. Teknik penyajian data dilakukan
dengan teknik kualitatif dan analisa datanya dilakukan secara kualitatif dengan
menggunakan teknik secara taksonomi. Hasil Penelitian sebagai berikut :
a.
UU
No. 19 tahun 1992 telah memberikan kepastian dan perlindungan hukum balk kepada
pemilik maupun kepada konsumen, meskipun dalam pelaksanaannya masih terdapat
beberapa kendala dalam penerapannya.
b.
Konsekwensi
diratifikasinya persetujuan akhir putaran Uruguay yang berkaitan dengan TRIPs
oleh UU No. 7 tahun 1994, berupa akibat hukum eksternal yang berarti bersedia
menerima segala kewajiban yang dibebankan oleh persetujuan internasional,
sedangkan akibat hukum internal adalah kewajiban dalam arti tidak terbatas pada
usaha untuk merubah hukum nasionalnya agar sesuai dengan ketentuan TRIPs, namun
juga harus disertai jaminan bahwa hukum nasional itu nantinya dapat berlaku
efektif.
c.
c.Tidak
dapat dipungkiri pembajakan produk pakaian jadi Merek terkenal, seperti Hammer,
Guess, Espril, D&G, Country Fiesta, Osella, Levis, begitu bebasnya
dipasarkan di Blok M, Tanah Abang Jakarta dan Pasar Baru Bandung, tanpa adanya
tindakan dari aparat penegak hukum.Diakui ada beberapa perusahaan yang telah
ditindak, tetapi masih terbatas pada perusahaan kelas ten ( pengusaha konveksi
) yang tidak mempunyai status ekonomi politik yang kuat. Kesimpulan :
o
Pemerintah
Cq Dirjen HCPM belum memiliki pengalaman dan keseriusan dalam melakukan
pembinaan Merek, hal ini masih terbukti setelah 5 tahun berlakunya UU No. 19
tahun 1992 masih melakukan pembenahan menyangkut syarat-syarat pendaftaran
Merek, masih belum dibentuknya komisi banding, belum adanya PP menyangkut
persyaratan dan tata cara permintaan pencatatan lisensi.
o
2.Secara
jujur harus diakui masih berat upaya pemerintah dalam menghadapi berlakunya
persetujuan TRIPs di era perdagangan bebas, khususnya menyangkut aspek
struktural maupun budaya hukum yang masih cukup memprihatinkan.
o
3.
Kejahatan Merek sebagai salah satu jenis kejahatan di bidang ekonomi,
memerlukan strategi khusus dalam penegakannya, berbeda dengan penegakan hukum
terhadap kejahatan lainnya. Untuk itu diperlukan pendekatan melalui politik kriminal.
Terkait
disini disamping masalah hukum ( pidana, perdata, administrasi ), juga masalah
etik dan moral. Saran-Saran:
1.
Perlu
adanya usaha untuk menyebarluaskan pemahaman tentang arti, fungsi dan peranan
HAKI, khususnya di bidang Merek balk kepada masyarakat untuk mengetahui tentang
hak dan kewajibannya selaku konsumen produk, kepada para petugas instansi
terkait, juga kepada aparat penegak hukum untuk lebih meningkatkan
profesionalismenya.
2.
Perlunya
pembenahan administrasi yang jauh dari birokrasi yang berbelit disamping adanya
tenaga yang handal.
3.
Perlu
adanya kemauan politik dari pemerintah dan segenap pihak yang terkait untuk
secara lebih sungguh-sungguh memberantas kejahatan Merek. Untuk itu peningkatan
koordinasi antar lembaga ( Dirjen HCPM, Dirjen Bea Cukai, Dirjen Imigrasi dan
aparat penegak hukum ) merupakan solusi terbaik.
Sumber :